Dalam ajaran Hindu, keberadaan laki-laki dan perempuan memiliki martabat yang sama. Kitab Suci Weda menempatkan perempuan dalam kedudukan yang tinggi. Perempuan dihormati dan ditempatkan dalam kedudukan yang sama dengan laki-laki.
Tentang Gender
Gender
adalah pembedaan peran perempuan dan laki-laki dimana yang membentuk adalah
konstruksi sosial dan kebudayaan, bukan karena konstruksi yang dibawa sejak
lahir. Jika jenis kelamin adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, maka gender
adalah sesuatu yang dibentuk karena pemahaman yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat.
Gender
dapat berubah dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu bahkan dari kelas ke
kelas sosial, sedangkan jenis kelamin akan selalu tetap. Gender merupakan
konstruksi yang bukan bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah
tergantung dari tempat, waktu, suku, ras, bangsa, budaya, status sosial,
pemahaman agama, ideologi dan lain-lain. Oleh karena itu gender bukanlah kodrat
Tuhan melainkan buatan manusia, sehingga dapat dipertukarkan dan bersifat
relatif. Dua elemen dasar dari gender
adalah 1) gender tidak identik dengan jenis kelamin; 2) gender merupakan
dasar dari pembagian kerja di semua masyarakat.
Kesetaraan
Gender Menurut
Hindu
Kesetaraan gender adalah kondisi dimana antara laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama sebagai manusia dalam segala segi kehidupan. Dalam ajaran Hindu, keberadaan laki-laki dan perempuan memiliki martabat yang sama. Di dalam Weda, personifikasi Tuhan bukan saja disimbolkan dengan wujud "laki-laki", misalnya Brahma, Wisnu dan Siwa tetapi juga dipersonifikasikan dengan wujud "perempuan" seperti Saraswati, Laksmi dan Durga. Bahkan simbol perempuan sebagai personifikasi dari wujud Tuhan dianggap sebagai Shakti atau kekuatan dari simbol wujud laki-laki. Bersama-sama dengan para ShaktiNya, para dewa dapat menjalankan perannya dalam menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam semesta.
Dalam literatur Weda, kaum perempuan diberi penghormatan yang sangat tinggi. Dalam Kitab Brihad-Aranyaka Upanisad misalnya, salah seorang yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam kepada Maharesi Yajnawalkya tidak lain merupakan seorang perempuan suci yang bernama Gargi. Selain Gargi, wanita suci lain dalam Upanisad adalah Maitreyi, istri dari Maharesi Yajnawalkya. Dalam Kitab-kitab Tantra, para bhakta wanita dilihat sebagai perwujudan dari Shakti dan mengagungkan Yang Tertinggi (Tuhan) sebagai Ibu dari alam semesta di bawah nama dan bentuk Dewi.
Begitu tingginya penghormatan terhadap perempuan dalam ajaran Hindu, dapat dilihat di dalam Kitab Suci Weda yang menempatkan perempuan dalam kedudukan yang tinggi. Tokoh-tokoh perempuan yang dihormati sebagai Brahmawadini seperti Wiswawara, Apala dan Ghosa mendapat kedudukan yang sama dengan para Brahmana seperti Agastya, Wiswamitra dan lain-lain.
Walmiki maupun Wyasa dengan dua karya besar mereka, Rāmayana dan Mahābhārata, juga memberikan contoh tentang kesetaraan gender dalam susastra Hindu. Baik Rāmayana maupun Mahābhārata menggambarkan bagaimana para perempuan mampu menghadapi dan mengatasi berbagai tantangan dalam kehidupannya. Kausalya, Sita, Kunti, serta Drupadi adalah contoh-contoh perempuan yang secara mengagumkan baik dalam hal kecerdasan maupun kebesaran jiwa mampu menghadapi segala tantangan baik dalam ranah publik maupun kehidupan pribadi mereka. Dengan menggunakan kedua epos besar itu sebagai refleksi, kita dapat melihat bahwa laki-laki membatasi perempuan bukan karena terlalu lemah namun karena kekuatan mereka terlalu besar.
Jatuhnya bangsa-bangsa besar akibat penghinaan terhadap perempuan juga dikisahkan dalam Rāmayana maupun Mahābhārata. Dalam Rāmayana, Rahwana dengan kerajaan Alengka-nya hancur akibat penculikan terhadap Sita. Sedangkan dalam Mahābhārata, perang besar keluarga Bharata terjadi salah satunya adalah akibat penghinaan Korawa terhadap Drupadi.
Manawa Dharmasastra I.32 meyatakan bahwa “Dengan membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian perempuan (Ardanareswari), Dia menciptakan wiraj”. Berdasarkan sloka tersebut, jelas bahwa Tuhan menciptakan manusia secara berpasangan. Ini artinya, perbedaan laki-laki dan perempuan adalah perbedaan setara yang saling melengkapi serta harkat dan martabatnya dipandang setara dalam ajaran suci Weda.
Dalam Atharwa Weda V.17.3.4 dinyatakan bahwa, “Dimana kehormatan wanita dilindungi, bangsa
itu akan selamat dan terjamin, sebaliknya, dimana seorang perempuan tidak dihormati
dapat meruntuhkan bangsa itu”. Lebih lanjut Manawa Dharmasastra
III.56 menyatakan, “Dimana perempuan
dihormati di sanalah para dewa senang dan melimpahkan anugerahnya. Di mana
perempuan tidak dihormati tidak ada upacara suci apa pun yang memberikan pahala
mulia”. Perilaku yang tidak mendudukkan perempuan secara terhormat bukan
hanya membuat perempuan saja yang menderita, semua pihak pun terkena akibatnya.
Bahkan tidak ada upacara yadnya yang
akan memberikan pahala.
Dalam hal kesetaraan hak, misalnya dalam pembagian harta
waris, Manawa Dharmasastra IX.118 menyatakan, "Perempuan mendapatkan minimal
seperempat bagian dari masing-masing pembagian saudara laki-lakinya". Selain tentang
kesetaraan hak, susastra Weda bahkan juga menunjukkan bahwa perempuan bisa memiliki
suami lebih dari satu. Dalam Mahābhārata, Satyawati, seorang putri nelayan mempunyai seorang putra dari Maharesi Parasara, dan kemudian kawin dengan Raja Santanu dan memiliki dua orang putra lagi, Citranggada dan Wicitrawirya, yang merupakan leluhur dari Pandawa dan Korawa. Panchali (Drupadi) kawin dengan lima orang bersaudara, Pandawa. Perempuan lain yang
dihormati di dalam kisah Rāmayana, Tara, kawin dengan Subali
raja Wanara, dan setelah kematian
Subali, kawin dengan adiknya Subali yakni Sugriwa.
Hindu percaya terhadap kekhususan
sumbangsih yang diberikan perempuan kepada dunia. Perempuan memiliki tanggung jawab yang
khusus dan tugas yang khusus. Terkait kode moralitas yang lebih keras yang dikenakan
kepada perempuan, sebenarnya adalah pujian untuk kaum ini, sebab ini artinya
diterimanya superioritas alamiah dari perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar