Panca Pandawa sebagai Simbolisasi Karakter Manusia

Sebagai penjelmaan dari para Dewa, karakter Panca Pandawa secara individu memang tidak sempurna, namun secara kolektif mewakili kualitas manusia sempurna. Mampu menegakkan aturan/dharma (Yudhistira), kuat secara fisik (Bhima), prajurit terampil (Arjuna), tampan (Nakula) dan berpengetahuan (Sahadewa).



Di dalam Mahābhārata, dijelaskan bahwa Pandawa adalah putra dari para Dewa. Yudhistira merupakan putra Dewa Dharma, Bhima adalah putra Dewa Bayu, Arjuna adalah putra Dewa Indra dan Nakula-Sahadewa merupakan putra Dewa Aswin.

Sedangkan dalam Markandeya Purana, dijelaskan bahwa sesungguhnya para Pandawa berasal dari kekuatan-kekuatan Dewa Indra yang tercecer (tercerai berai). Kekuatan-kekuatan ini kemudian digunakan oleh para Dewa yang mendapatkan kekuatan tersebut sehingga lahirlah para Pandawa. Dengan demikian, Pandawa sesungguhnya adalah satu kesatuan yang merupakan bagian dari Dewa Indra. Dewa Indra adalah raja para Dewa. Sebagai penjelmaan Dewa Indra, Pandawa memiliki kualitas raja yang sempurna.

Yudhistira, sebagai putra dari Dewa Dharma, dewa keadilan dan kebijaksanaan, memiliki karakter adil, bijaksana, serta memegang teguh ajaran moralitas. Yudhistira adalah perwujudan dari kebenaran, ia tidak pernah berbohong sepanjang hidupnya. Itulah alasan mengapa ia disebut sebagai Dharmaputra.

Bhima, putra Dewa Bayu, digambarkan sebagai pria berbadan tinggi besar, kekar, dan sangat kuat. Bhima memiliki prestasi luar biasa dalam hal pertarungan tangan kosong dan piawai menggunakan senjata gada. Bhima memiliki kepribadian yang kuat yang membuat gentar semua musuh-musuhnya.

Arjuna, putra Dewa Indra, merupakan pemanah terhebat, cerdas, dan dapat mengendalikan semua indriyanya. Arjuna mampu bertahan dalam kondisi apapun, serta selalu memegah teguh prinsip-prinsip kebenaran.

Nakula dan Sadewa (Sahadewa) merupakan putra dari Dewa Aswin. Nakula merupakan yang paling tampan diantara Pandawa yang lain. Tidak hanya tampan, ia juga ahli dalam ilmu astrologi, mengerti semua ajaran moralitas dan pandai menghibur hati. Nakula juga merupakan ksatriya yang gagah berani dan piawai dalam menggunakan senjata pedang. Sedangkan Sahadewa, Pandawa yang paling bungsu, memiliki keunggulan dalam hal kecerdasan, mampu meramal masa depan, serta bijaksana.

Panca Pandawa, jika diibaratkan jari-jari tangan, Yudhistira merupakan simbol dari ibu jari (jempol). Yudhistira sebagai kakak tertua yang menaungi dan sebagai contoh sopan santun dalam hidup. Seperti halnya kita selalu menggunakan jempol untuk menunjukkan arah, kesopanan atau menyatakan persetujuan.

Bhima merupakan simbol dari jari telunjuk. Bhima dikenal sebagai orang yang lurus dan terus terang dan apa adanya. Bhima dikenal sebagai orang yang keras dan cenderung galak dalam menegakkan kebenaran. Seperti halnya jari telunjuk acap kali diacungkan jika memarahi atau mengingatkan orang lain.

Arjuna merupakan sombol dari jari tengah. Arjuna dikenal sebagai impian setiap wanita. Ia berhati lemah lembut serta piawai dalam menyenangkan hati para wanita.

Nakula merupakan sombol dari jari manis. Nakula adalah simbol dari ketampanan, keindahan, dan keharmonisan. Oleh karena itu, cincin, terutama sebagai lambang ikatan perkawinan, diletakkan di jari manis, sesuai dengan sifat Nakula yang tampan, indah dan harmonis.

Sahadewa merupakan simbol jari kelingking. Sahadewa digambarkan sebagai orang yang paling mampu membawa kestabilan dan kebersihan. Seperti halnya sifat jari kelingking yang mampu membersihkan kotoran di tempat yang tersembunyi.

Dalam Mahābhārata, dikisahkan pada tahun terakhir pengasingan diri Pandawa di hutan, terjadi peristiwa meninggalnya Bhima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa di sebuah danau tanpa sebab. Kejadian ini merupakan suatu simbol bahwa Yudhistira (manusia), setelah belasan tahun lamanya mencari jati dirinya (dalam masa pengasingan di hutan), barulah dia bisa mematikan sifat marah (Bhima), birahi (Arjuna), loba (Nakula), iri hati (Sahadewa).

Ketika semua saudaranya telah meninggal, dari dalam danau terdengah suara, “Yudhistira, siapakah satu orang dari empat saudaramu yang kamu inginkan untuk dihidupkan kembali?” Yudhistira menjawab, “Oleh karena aku putra dari ibu Kunti, maka aku minta Nakula putra dari ibu Madri supaya dihidupkan kembali demi keadilan”.

Yudhistira meminta agar yang dihidupkan kembali adalah Nakula, bukan Sahadewa. Pada peristiwa ini, Nakula (Na-kaula) merupakan simbol dari pikiran/intelek. Sedangkan Sahadewa (Sa-dewa) sebagai simbol Dewa (atman) yang tugasnya membimbing dan menuntun sang kaula supaya selalu berjalan di jalan Tuhan. Jika Sahadewa yang dihidupkan maka jantung manusia berdenyut akan tetapi pikirannya tidak sadar (dalam keadaan koma), karena kaulanya bandel tidak mau ikut. Tetapi apabila kaulanya (Nakula) yang dihidupkan, maka atman (Sahadewa) juga secara otomatis akan ikut sehingga kesadaran manusia kembali normal.

Nakula dan Sahadewa merupakan simbol dari perwujudan Tuhan dalam diri manusia. Na-kula (kaula) dan Saha-dewa (Dewa) ada di dalam diri setiap manusia. Kaula (jiwa perorangan) atau jiwa pribadi (pikiran/intelek) sangat dipengaruhi oleh indriya. Sedangkan Dewa (Jiwa Agung/Tuhan) hanya sebagai pengamat (saksi agung) yang tidak terpengaruh oleh segala tingkah laku manusia.

Yudhistira setelah mengalami proses kematian saudar-saudaranya, memiliki tingkat spiritual yang sempurna serta mampu mengendalikan dan menguasai nafsunya sendiri. Dalam kondisi ini, Yudhistira merupakan simbol dari seorang manusia yang sudah bisa menjadi raja atas dirinya sendiri serta sudah mencapai tingkat kesucian yang tinggi.

Penyerahan diri dan keiklasan sejati disimbolkan oleh Bhima. Hal ini dikisahkan ketika Bhima ikhlas ketika dijadikan tumbal sebagai makanan seorang raksasa atas perintah ibu Kunti.

Sedangkan Arjuna merupakan simbol dari manusia yang mampu memahami dan mengaktualisasikan sifat rwa bhineda dalam laku lampah kehidupannya. Ketika Arjuna diminta oleh Kresna untuk membawa lari Subadra, Arjuna sempat menolak. Namun karena merupakan perintah dari Krsna (Awatara Dewa Wisnu), maka Arjuna mentaati dan melaksanakannya.

Ketika Arjuna melaksanakan tapa brata, dia melakukannya dengan sempurna, walaupun para Dewa mengirimkan banyak godaan untuknya. Ketika Arjuna harus menyamar sebagai banci dan guru tari di kerajaan Matsya, dia melakukan dengan sempurna sehingga tidak seorangpun yang mengenali. Di saat harus melaksanakan swadharmanya sebagai ksatriya dalam peperangan, Arjuna sanggup mengalahkan musuh-musuhnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar