Sang Garuda, Burung Utama Yang Paling Sempurna



Pada zaman dimana para penghuni surga, penghuni dunia dan penghuni alam patala bisa berinteraksi tanpa batas, hiduplah seorang brahmana bernama Bagawan Kasyapa, anak Bagawan Marici, cucu Batara Brahma.

Oleh Bagawan Daksa, ia diberikan empat belas orang putrinya untuk dijadikan istri.Semua istri Begawan Kasyapa, kecuali Winata dan Kadru, memiliki anak, berbagai makhluk wujudnya. Dari Duabelas Aditya, Daitya, Danawa, Gandarwa, Bidadara, Asura, Raksasa, Sebelas Rudra, tumbuh-tumbuhan, Ghana, Bhuta, serta berbagai satwa (hewan)

Kadru meminta seribu putra, maka oleh Rsi Kasyapa diberilah seribu butir telur untuk dijaga. Sedangkan Winata hanya meminta dua putra saja, tetapi yang kelak kesaktiannya melebihi anak-anak Kadru, maka oleh Rsi Kasyapa, Winata diberi dua butir telur untuk dirawatnya.

Waktu terus berjalan, telur-telur Kadru lalu menetas, semuanya berwujud naga. Yang tertua diantaranya adalah sang Anantaboga, sang Basuki dan sang Taksaka, semuanya sangat sakti.

Sementara, telur-telur Winata belum juga menetas. Winata menjadi malu karena merasa kalah oleh Kadru. Khawatir telur-telur yang dijaganya telah rusak, maka diambilah sebongkah batu, lalu salah satu telur dipecahkannya.

Tatkala telur pecah, keluarlah seekor burung berbadan merah dengan badan yang belum sempurna, tanpa sayap dan tanpa kaki. Begitu lahir, burung tadi langsung tumbuh dewasa. Karena tanpa sayap dan kaki dia dipanggil sang Aruna.

Sang Aruna marah kepada ibunya karena dipaksa lahir sebelum waktunya, lalu mengutuk sang ibu, kelak akan diperbudak saudaranya sendiri. Aruna berpesan agar ibunya menjaga satu telur yang tersisa. Itulah yang akan menebus ibunya dari perbudakan.

Sang Aruna lalu terbang meninggalkan ibunya. Ia akhirnya menjadi sais kereta Hyang Aditya, ia yang bersinar merah di pagi hari pertanda matahari terbit.

Tatkala para Dewa dan Asura bekerjasama mengaduk Ksira Sagara (lautan susu) menggunakan gunung Mandara untuk mencari Tirta Amerta, munculah berbagai makhluk serta harta karun sebagai hasilnya. Salah satu makhluk yang muncul berwujud seekor kuda putih yang bernama Uccaihsrawa.

Winata dan Kadru pun mendengar kabar itu. Namun mereka berbeda pendapat tentang warna kuda itu, apakah putih polos atau putih dengan ekor hitam. Lalu mereka sepakat untuk bertaruh, yang kalah akan menjadi budak yang menang.

Saat mendengar dari para Naga bahwa tebakannya salah, Kadru menjadi cemas. Ia tentu saja tidak mau menjadi budak Winata, lalu diperintahkannya para Naga menyemprotkan bisa, agar ekor kuda menjadi hitam. Para Naga sempat menolak perintah ibunya, namun karena takut ibunya marah, para Naga menyanggupinya.

Winata kalah walau tebakannya benar, sebab Kadru berbuat curang. Maka kutukan sang Aruna terjadilah. Winata menjadi budak Kadru, lalu diberi tugas untuk mengasuh para Naga.

Waktu terus berganti dengan cepat. Saat Winata hidup merana karena menjadi budak para Naga, satu telur yang tersisa akhirnya menetas. Lahirlah seekor burung dengan wujud sempurna. Begitu keluar dari cangkang telurnya, ia langsung tumbuh dewasa. Dialah sang Garuda, burung utama yang gagah perkasa.

Sang Garuda mengepakkan sayapnya lalu terbang membelah angkasa. Kelahirannya telah menggemparkan seisi dunia bahkan seluruh penghuni surga. Dewa Indra pun harus bertanya kepada Bhagawan Wrhaspati, guru para Dewa, untuk mengetahui siapa gerangan makhluk perkasa ini.

Sang Garuda terbang memutari langit sambil mencari-cari dimana ibunya berada. Ia lalu mendapati ibunya tengah melayani ribuan Naga. Menyaksikan putranya yang perkasa telah tiba, Winata menangis bahagia. Winata lalu menceritakan kisahnya hingga diperbudak Kadru untuk merawat para Naga, lalu meminta sang Garuda menyelamatkannya dari perbudakan itu.

Sang Garuda lalu mendekati para naga, menanyakan kepada mereka, apa gerangan yang bisa dia lakukan untuk membebaskan ibunya.
“Bawakan kami Tirta Amerta, hasil dari para Dewa dan Asura mengaduk lautan Ksira”, kata para Naga.
“Baiklah”, jawab sang Garuda dengan tegas.

Sang Garuda lalu pergi menemui ayahnya, bagawan Kasyapa, untuk meminta petunjuk dan nasihatnya. Dengan berbekal restu dari ibu dan ayahnya, sang Garuda lalu terbang menuju Gunung Somaka, tempat dimana Tirta Amerta disembunyikan.

Selama perjalanan sang Garuda menuju tempat Tirta Amerta, datanglah tanda-tanda buruk di surga loka. Senjata Dewa Indra bersinar dan menyala-nyala, hujan darah turun, bunga-bunga layu diterpa badai dan angin topan.

Menyadari adanya tanda-tanda buruk, Bhagawan Wrhaspati lalu mengingatkan Dewa Indra agar berhati-hati, sebab sebentar lagi perang akan terjadi. Para Dewa lalu mempersiapkan senjata, bersama-sama menjaga Tirta Amerta.

Datanglah sang Garuda, disertai angin kencang, kilat, dan cahaya menyilaukan mata. Pertempuran dahsyat pun terjadi. Dewa Bayu, Asta Basu, Sebelas Rudra, Duabelas Aditya, serta para Dewa lainnya, dipimpin oleh Dewa Indra melawan sang Garuda yang ingin merebut Tirta Amerta.

Para Dewa sangat kewalahan menghadapi amukan sang Garuda hingga tidak tahu lagi harus berbuat apa. Para Dewa pun menyerah dan kalah. Lalu sang Garuda pun melewati rintangan terakhir menuju Tirta Amerta, ia mengalahkan dua ekor naga sakti, penjaga tirta suci itu. Setelah semua rintangan berhasil tumbang, sang Garuda segera mengambil tirta suci itu lalu terbang hendak pulang.

Ketika sedang melayang di angkasa, datanglah Dewa Wisnu lalu berseru, “Wahai sang Garuda! jika engkau menginginkan Tirta Amerta, hendaknya engkau memintanya kepadaku. Tentu aku akan memberikannya”

“Tidak selayaknya engkau menganugerahi aku Dewa Wisnu!, jawab sang Garuda. “Kesaktianmu kalah dengan kesaktianku! Karena Amerta inilah engkau tidak mengenal tua dan mati. Sedangkan aku, tidak mengenal tua dan mati, meskipun tidak meminum Amerta. Janganlah engkau meminta aku mengembalikan Amerta ini, mintalah yang lain akan kukabulkan” tambah sang Garuda.

Lalu Dewa Wisnu berkata, “Kamu benar sang Garuda, tidak ada satupun yang salah dari ucapanmu. Dan sebagai pengganti Tirta Amerta itu, aku meminta agar kau sudi menjadi kendaraanku serta menjadi lambang pada benderaku.

Sang Garuda menepati kata-katanya. Ia mengabulkan permintaan Dewa Wisnu dan bersedia menjadi kendaraanNya. Para Dewa lalu bersorak gembira, sebab kini memiliki sekutu dengan kekuatan yang tiada tara.

Sang Garuda lalu meminta izin untuk membawakan Tirta Amerta kepada para Naga. “Jangan khawatir Dewa Indra! Jika tirta suci ini sudah kubawakan kepada para Naga sebagai penebus ibuku dari perbudakan, maka ambilah kembali olehmu” kata sang Garuda.

Setibanya di tempat para Naga, Tirta Amerta itu, dengan berwadah kamandalu (bejana) dan bertali daun alang-alang, lalu diserahkan kepada para Naga. Sang Garuda menyarankan agar para Naga mandi dan membersihkan diri terlebih dahulu sebelum meminum tirta suci itu.

Saking semangatnya, semua Naga berhamburan menuju sungai untuk mandi dan membersihkan diri, Tirta amerta diletakkan begitu saja tanpa ada satupun yang menjaganya.

Tatkala semua Naga mandi, datanglah Dewa Indra mengambil Tirta Amerta itu. Dan ketika para Naga kembali dari sungai, didapatinya tirta suci itu sudah tidak ada. Yang tersisa hanya setetes tirta yang tertinggal di pucuk alang-alang. Para naga yang sedih kehilangan Tirta Amerta lalu menjilati pucuk alang-alang itu hingga lidah mereka tersayat dan terbelah dua.

Demikianlah akhirnya Sang Garuda berhasil membebaskan ibunya, kemudian berangkat ke surga untuk menunaikan janjinya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Sedangkan para Naga yang sudah merasakan tetesan Tirta Amerta, menjadi makhluk yang tidak mengenal tua. Adapun alang-alang tempat jatuhnya tetesan Tirta Amerta, sampai sekarang menjadi rumput suci.

Sumber bacaan: Adi Parwa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar