Sejarah Pura Kahyangan Tiga


Kahyangan Tiga adalah unsur parahyangan dari konsep Tri Hita Karana pada tingkat Desa pakraman atau Desa Adat. Di Kahyangan Tiga inilah para warga desa memohon kesejahteraan dan keselamatan.

Berdasarkan Prasasti Bukit Kintamani atau Prasasti Sukawana yang bertarikh tahun 804 Śaka atau tahun 882 Masehi, yang adalah prasasti tertua di Bali, dan Prasasti Blanjong di Desa Sanur yang bertarikh tahun 836 Śaka atau tahun 914 Masehi, di Bali terdapat Kerajaan Badahulu, di bawah Dinasti Warmadewa, dengan Śrī Kesari Warmadewa sebagai raja pertamanya. Kerajaan tersebut terletak di kawasan Pejeng, Gianyar dengan Singamandawa sebagai pusat kerajaannya.

Kemudian, prasasti-prasasti yang selanjutnya banyak yang terkait erat dengan kehadiran Mpu Kuturan di Bali. Adapun Mpu Kuturan ini adalah salah seorang penasehat Raja Airlangga di Kerajaan Kahuripan, Jawa Timur, khususnya di bidang pemerintahan maupun di bidang keagamaan.

Bukti tertulis peran Mpu Kuturan terhadap Bali, antara lain tampak dalam Babad Pasek, yang antara lain memuat pernyataan bahwa pada masa pemerintahan Sang Ratu Luhur Sri Gunapriya Dharmapatni atau Mahendradatta yang berasal dari Kerajaan Medhang Kamulan di Jawa Timur, bersama dengan suaminya, Sang Ratu Maruhani Sri Dharmodayana Warmadewa, yang lebih dikenal sebagai Raja Udayana itu, terjadi pasamuhan agung antara kelompok Śiwa Buddha dengan kelompok Bali Aga, yang menjadi awal mula terbentuknya desa pakraman dan Kahyangan Tiga, sebagai tatanan kehidupan dari masing-masing desa Bali Aga. Dalam pasamuhan agung itulah Mpu Kuturan sangat berperan.

Pada masa itu banyak terjadi keresahan di Kerajaan Badahulu itu. Mereka sebenarnya tidak berniat untuk melakukan pemberontakan ataupun pengambil-alihan kekuasaan, namun Raja dan Permaisuri rupanya merasa kesulitan untuk mengendalikan situasi sosial yang negatif itu.

Adapun penyebab pokok dari keresahan sosial itu adalah adanya banyak sekte religius yang terdapat di dalam Kerajaan Badahulu. Di kalangan masyarakat terdapat pelbagai aliran religius yang dikenal sebagai sadpakṣa atau enam sekte, yang menurut rontal Sad Agama, yaitu Śambhu, Kāla, Brahmā, Indra, Wíṣṇu, dan Bāyú. Sementara itu, sumber lain menyebutkan ada sembilan sekte atau nawapakṣa di kalangan masyarakat saat itu, yaitu Śiwa Siddhānta, Paśupata, Bhairawa, Waisnawa, Bodha atau Sogatha, Brāhmaṇa, Ŗṣi, Sora atau Surya dan Ganapatya.

Bahkan konon sekte yang dianut oleh rajapun berbeda dengan aliran yang dianut oleh sang permaisuri. Raja Udayana sendiri adalah penganut Buddha Mahāyāna, sementara permaisurinya adalah penganut aliran Śiwa Paśupati. Dalam hal ini warga masyarakat Kerajaan Badahulu tersebut bertengkar di antara mereka sendiri.

Pertengkaran antar sekte ini menimbulkan ketidak tertiban sosial di Kerajaan Badahulu. Dalam hal ini ada sementara kalangan yang yakin bahwa legenda Maya Danawa yang sangat termasyur di masyarakat Bali itu adalah gambaran, betapa sengitnya pertengkaran di antara sekte-sekte tersebut di atas. Uniknya, pertengkaran yang terdapat dalam kisah Maya Danawa itu konon terutama terjadi di antara para pengikut sekte Waisnawa melawan sekte Indra. Adapun sekte Indra ini masih banyak pengikutnya di kalangan masyarakat Tenganan Pagringsingan, sebuah desa kuna di Kabupaten Karangasem di Bali Timur.

Guna meredam konflik sosial yang berkepanjangan itu, raja dan permaisuri lalu mengundang Sang Catur Sanak dari Panca Tirta. Mereka itu adalah empat orang dari lima pandita atau mpu bersaudara, putra dari Mpu Lampita di Jawa Timur. Mereka terkenal keahliannya dalam pelbagai bidang kehidupan. Akan tetapi kedatangan mereka ke Bali guna mendampingi dan membantu sang raja dan sang permaisuri itu tidaklah bersamaan. Keempat mpu itu adalah:

1. Mpu Sumeru atau Mpu Mahameru, yang pertama datang ke Bali pada sekitar tahun 999 Masehi. Mpu Sumeru merupakan pengikut sekte Śiwaisme. Tokoh ini dikenal sebagai seorang Śukla Brahmacārī, yang berarti tidak menikah seumur hidupnya. Di Bali ia tinggal di Basakih sebagai pamangku atau pereksa Pura Hyang Putranjaya, atau yang dewasa ini dikenal sebagai Pura Ratu Pasek.

2. Selanjutnya hadir Mpu Ghana yang datang ke Bali pada sekitar tahun 1000 Masehi. Mpu Ghana adalah pengikut sekte Ganapati. Ia juga adalah seorang Śukla Brahmacārī. Mpu Ghana tinggal di Gelgel, tempat yang kini berdiri Pura Dasar Buwana Gelgel.

3. Kemudian datanglah Mpu Rajakretha atau Mpu Kuturan pada sekitar tahun 1001 Masehi. Beliau adalah penganut Buddha Mahāyāna. Mpu Kuturan tinggal di Padangbai, tempat yang kini berdiri Pura Silayukti.

4. Adapun mpu yang terakhir datang ke Bali adalah Mpu Gnijaya di sekitar tahun 1006 Masehi. Beliau adalah pengikut sekte Brahmaisme. Ia adalah ayah dari tujuh orang mpu yang dikenal sebagai Sang Sapta Ṛṣi di Bali. Mpu Gnijaya ini kemudian tinggal di Gunung Lempuyang, tempat Pura Lempuyang Madya atau Tengah atau Pura Panataran Silawana Hyang Sari kini berdiri.

Sementara itu saudara bungsu keempat mpu di atas tidaklah ikut ke Bali. Mpu Bharadah namanya. Beliau tetap tinggal di Lemah Tulis, Pajarakan, Jawa Timur. Ia tetap menjadi Purohita atau pendeta kerajaan di Daha pada masa pemerintahan Raja Airlangga.

Di antara keempat mpu di atas, Mpu Kuturan adalah tokoh yang paling berperan dalam meredakan keresahan sosial yang terjadi di Bali itu. Hal ini tampak pada pelbagai jabatan yang diemban oleh Mpu Kuturan. Di samping sebagai Purohita, Mpu Kuturan juga menjabat sebagai Senapati, dengan gelar Senapati Kuturan, yang dibuktikan dengan data yang tertulis di Prasasti Kehen B di Pura Kehen, Bangli.

Selain itu, Mpu Kuturan juga bertindak sebagai Pimpinan Pakiran-kiran I Jro Makabehan. Lembaga yang beranggotakan para senapati, pandita dangācārya, dan dangupādhyāya ini adalah lembaga tinggi kerajaan yang berfungsi sebagai penasehat Raja, terutama dalam hal pembinaan keamanan dan ketertiban di masyarakat, sesuai dengan catatan yang terdapat di Goa Gajah.

Selanjutnya dengan restu Raja dan Permaisuri, Mpu Kuturan berhasil mengumpulkan pelbagai kelompok sekte yang saling berselisih itu dalam suatu Pasamuhan Agung di Desa Samuhan Tiga, Bataanyar, kini dikenal sebagai Gianyar. Adapun sekte-sekte yang berkumpul itu terkelompok menjadi tiga golongan yaitu:

1. Mpu Kuturan sendiri, yang di samping sebagai pimpinan Pasamuhan Agung dan pimpinan Pakiran-kiran I Jero Makabehan, juga bertindak mewakili pengikut sekte Buddha Mahāyāna.

2. Para tokoh masyarakat Bali Mula atau Bali Aga yang mewakili berbagai sekte.

3. Para tokoh sekte Śiwaisme yang berasal dari Jawa Timur.

Adapun hasil dari Pasamuhan Agung itu adalah sebagai berikut:

1. Paham Trimūrti atau Triśakti menjadi dasar religi yang mencakup segenap paham dan aliran yang hidup di Bali pada saat itu.

2. Desa Pakraman atau Desa Adat menjadi wadah sistem sosial, yang dilengkapi seperangkat peraturan yang disebut awig-awig. Untuk itu di setiap desa itu didirikan tiga jenis pura yang disebut Pura Kahyangan Tiga, yang juga adalah cerminan dari paham Trimūrti tersebut.
Pura Kahyangan Tiga terdiri dari:

a. Pura Bale Agung atau Pura Desa, yang menjadi tempat suci guna memuja Dewa Brahmā, yang merupakan Sang Pencipta alam semesta beserta isinya atau utpatti.

b. Pura Puseh, yang menjadi tempat suci guna memuja Dewa Wíṣṇu, yang merupakan Sang Pemelihara alam semesta beserta isinya atau sthiti.

c. Pura Dalem atau Pura Hulu Setra, yang menjadi tempat suci guna memuja Dewa Śiwa beserta Dewi Durgā, śakti-nya itu, sebagai pelebur segala sesuatu yang telah usang dan tidak layak lagi berada di dunia fana, sehingga perlu dikembalikan kepada asal-mulanya atau pralīna.

3. Perlu didirikan tempat suci di sawah, yang disungsung oleh krama subak, yang kini dikenal sebgai pura subak.

4. Setiap rumah tangga mendirikan sebuah palinggih yang berbentuk rong telu, guna memuja Hyang Widhi Wasa dan para dewa pitara, yang juga adalah cerminan dari paham Trimūrti. Rong Tiga ini disebut sebagai kamulan, yang terdapat di dalam setiap rumah.

5. Semua lahan pakarangan yang terletak di Desa Pakraman dan di Pura Kahyangan Tiga adalah lahan milik Desa Pakraman yang bersangkutan, dan dengan demikian tidak dapat diperjual-belikan.

6. Nama agama yang dianut oleh masyarakat Bali adalah agama Śiwa Buddha.

Adapun acuan dasar keputusan di atas adalah struktur kemasyarakatan sebagaimana berlangsung di lingkungan kerajaan di Jawa pada masa itu.

Atas jasanya itu, Mpu Kuturan mendapat penghormatan besar dari masyarakat Bali dalam bentuk palinggih Manjangan Saluang yang adalah salah satu jenis palinggih di setiap pura besar maupun di pura kawitan. Adapun ciri khas palinggih ini adalah arca manjangan atau paling tidak, tanduk manjangan di bagian depan palinggih tersebut. Hal ini mengingat bahwa menurut legenda yang beredar, Mpu Kuturan itu datang ke Bali dengan mengendarai seekor rusa atau manjangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar