Siwaratri atau Maha Shivaratri, Hari Suci yang dirayakan oleh Umat Hindu di seluruh dunia



Agama Hindu, yang ajarannya bersumber dari Kitab Suci Weda, menuntun umatnya untuk melakukan kegiatan keagamaan sesuai prinsip universal dari ajaran Weda, yaitu disesuaikan dengan desa, kala, dan patra, atau tempat, waktu, dan situasi atau keadaan.

Oleh karena itu, adalah sia-sia jika mencoba menemukan keseragaman cara ritual atau waktu sembahyang umat Hindu di dunia. Perayaan Siwaratri adalah contohnya.

Hindu di dunia dipersatukan oleh Kedewataan yang menjadi pokok pemujaan secara bersama. Dalam bahasa sederhana, bisa dikatakan bahwa, Asal memuja dewa Hindu, mereka sudah pasti Hindu.

Bahasa, waktu, atau tata cara ritual tidak harus sama, apalagi wajib seragam. Perayaan Siwaratri bisa menjadi salah satu contoh, bahwa dalam keberagaman Hari Raya Hindu, terdapat esensi yang sama. Berikut ini, akan diuraikan sepuluh fakta tentang Perayaan Siwaratri, yang wajib anda ketahui.

Perayaan hari Siwaratri, atau disebut juga Maha Siwaratri, dilakukan oleh umat Hindu di seluruh dunia. Siwaratri dirayakan setiap satu tahun sekali, yakni sebagai penghormatan kepada Dewa Siwa.

Siwaratri berasal dari dua kata, yakni Siwa, dan ratri. Siwa merupakan nama Tuhan dalam perwujudannya sebagai Sang Maha Pelebur, atau pamralina. Kata Siwa juga berarti, yang memberi keberuntungan, yang baik hati, yang suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, serta yang tenang membahagiakan. Sedangkan kata ratri, berarti malam atau saat gelap. Dengan demikian, secara harfiah, Siwaratri dapat diartikan sebagai malam untuk memuja Dewa Siwa.



Siwaratri pada hakikat nya merupakan kegiatan Namasmaranam, yakni mengingat dan memuja nama Tuhan, dalam hal ini pada Dewa Siwa. Siwaratri dianggap sebagai saat yang tepat untuk memuja Dewa Siwa, sebagai dewa yang memiliki kekuasaan sebagai pemralina, khususnya melebur segala dosa. Dan, bahwa sifat Tuhan, khususnya dalam perwujudannya sebagai Dewa Siwa, yang maha pengampun, yang maha baik hati, maha memaafkan, maha menyenangkan, maha memberi harapan, dan yang tenang membahagiakan, menjadi alasan mengapa umat Hindu mengadakan pemujaan dan renungan suci kepada Dewa Siwa.

Siwaratri jatuh pada hari Catur Dasi Krisna paksa, atau Panglong kaping 14, yakni sehari sebelum bulan mati, pada setiap bulan, menurut perhitungan kalender lunar atau bulan. Pada malam inilah diyakini sebagai malam tergelap. Dalam satu tahun, kita akan menemui 12 kali bulan mati, sehingga juga akan ada 12 kali Siwaratri dalam satu tahun. Namun, diantara 12 Siwaratri itu, ada satu Siwaratri yang dianggap sebagai malam paling gelap dalam tahun tersebut. Malam paling gelap dalam satu tahun itulah yang di India dan sekitarnya disebut dengan Maha Siwaratri. Sedangkan di Indonesia, Maha Siwaratri hanya disebut dengan Siwaratri.

Karena letak geografisnya yang berbeda-beda, maka malam tergelap dalam satu tahun antara satu daerah dengan daerah yang lain, di masing-masing belahan dunia pun akan berbeda-beda. Sehingga, jatuhnya hari perayaan Maha Siwaratri, di masing-masing belahan dunia akan berbeda-beda. Di India sendiri, waktu perayaan Maha Siwaratri juga berbeda-beda.

Menurut kalender Hindu India Utara, Maha Siwaratri dirayakan pada bulan Phalguna, yakni sekitar bulan Februari atau Maret. Sementara, menurut kalender Hindu India Selatan, Siwaratri dirayakan pada bulan Magha, yakni sekitar bulan Januari atau Februari.

Sedangkan di Indonesia, tradisi perayaan Maha Siwaratri, atau hanya disebut Siwaratri, dilaksanakan pada Sasih Kepitu atau pada bulan Magha, yakni sekitar bulan Januari atau bulan Februari.

Di India, teks tentang pedoman Maha Siwaratri ditemukan dalam beberapa kitab, seperti Siwa Purana, Skanda Purana, Garuda Purana, dan Padma Purana. Dalam kitab-kitab purana tersebut, menyajikan versi yang berbeda-beda terkait dengan tatacara perayaan Mahasiwaratri. Tetapi pada dasarnya, perayaan Maha Siwaratri di India, terdiri dari pelaksanaan upawasa atau puasa, dan terjaga semalam suntuk atau disebut dengan istilah Jagaraan, untuk melakukan pemujaan kepada Dewa Siwa.

Di Indonesia, perayaan Siwaratri memiliki pedoman tertulis yang dipakai acuan yaitu Kekawin Siwaratrikalpa, karya Mpu Tanakung. Kekawin Siwaratrikalpa berisi pemaparan kisah perjalanan hidup Lubdaka, seorang pemburu yang mampu mencapai Siwaloka, karena dimasa hidupnya secara tidak sengaja melakukan jagra atau terjaga saat malam Siwaratri. Kekawin ini juga berisi petunjuk brata pelaksanaan pemujaan Siwaratri.




Brata Siwaratri di Indonesia terdiri dari Mona Brata, yaitu pengendalian ucapan atau dalam kata-kata. Upawasa, yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Serta Jagra, yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan terjaga semalam suntuk hingga pagi, untuk melakukan pemujaan kepada Dewa Siwa.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa antara satu tempat dengan tempat lainnya, akan dijumpai keberagaman pedoman dan cara ritual, keberagaman perlengkapan atau sarana ritual, keberagaman tempat peribadatan, perbedaan elemen brata, dan berbeda penentuan malam peringatan Maha Siwaratri. Namun, kesemuanya menganjurkan untuk melakukan upawasa atau puasa, terjaga semalam suntuk untuk merenungkan Tuhan dalam perwujudannya sebagai Dewa Siwa secara terus menerus, serta mengucapkan mantram pujaan dan nama suci Siwa saat perayaan Maha Siwaratri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar