Mengenal dan memahami Pelinggih Penunggun Karang








Umat Hindu di Bali, meyakini bahwa setiap bangunan suci atau pelinggih, pasti diperuntukkan sesuai dengan fungsi dan kegunaannya.

Bangunan suci atau pelinggih tersebut, diyakini sebagai sthana Dewa-Dewi atau linggih Ida Bhatara, linggih roh suci leluhur, serta linggih makhluk niskala lainnya. Keberadaan bangunan suci atau pelinggih itu, merupakan tempat bagi manusia untuk menjalin hubungan dengan yang niskala atau alam gaib.

Pada setiap rumah umat Hindu Bali, biasanya memiliki dua tempat bangunan suci, yakni Sanggah Pemerajan dan Sanggah atau pelinggih penunggun karang. Kedua tempat suci tersebut terletak di dalam pekarangan rumah, serta memiliki fungsi bertindak sebagai wakil penghuni rumah di alam niskala.

Penunggun Karang, yang juga disebut dengan pelinggih Tugu Karang, Sedahan Karang, atau Pengijeng Karang, dalam kepercayaan umat Hindu Bali, merupakan pelinggih yang diyakini sebagai pelindung atau penjaga rumah, terutama secara niskala atau alam gaib. Pelinggih Penunggun Karang, jika diterjemahkan secara harfiah dapat diartikan sebagai kuil atau bangunan suci untuk penjaga rumah.


Dalam beberapa susastra, dijelaskan bahwa pada Pelinggih Penunggun Karang, yang distanakan di sana adalah Hyang Bahu Rekso, artinya yang menjadi penguasa alam secara niskala tempat atau wilayah tersebut. Semua penguasa alam seperti Hyang Bahu Rekso, diidentikkan dengan Dewa Ganesha, jadi, Hyang Bahu Rekso dikelompokkan ke dalam Ganabala, atau pasukan Gana, prajurit Dewa Ganesha.

Dalam lontar Sudamala, disebutkan bahwa Hyang Widhi Wasa, turun ke dunia dengan dua perwujudan, yaitu Sang Hyang Titah dan Sang Hyang Whenang. Sang Hyang Titah menguasai alam Mistis, termasuk didalamnya alam Dewa, alam Bhuta kala, sorga dan neraka. Beliau bergelar Batara Siwa, yang kemudian disebut dengan Hyang Guru. Sedangkan, Hyang Whenang turun ke marcapada, menguasai alam berwujud semar atau dalam Susastra Bali disebut Malen, yang akan mengemban dan mengasuh isi dunia ini. Hyang Titah berstana di hulu, yaitu komplek Sanggah Pemerajan, sedangkan Hyang Whenang berstana di Teben yaitu di kompleks Bangunan Perumahan berupa Penunggun Karang.

Dalam sumber lain dikatakan bahwa Pelinggih Penunggun Karang merupakan Stana Ratu Made jelawung atau ratu made alang Kajeng. Setelah mendapat panugrahan dari Dewa Sangkara, maka perwujudan Ratu Made jelawung menjadi Bhatara Dukuh Sakti. Disinilah beliau berfungsi sebagai dewa wates atau pagar, dewa pelindung segalanya, dan sebagai dewa penerang, baik bagi buana agung maupun buana alit di pekarangan rumah tinggal. Dalam sumber lain juga dikatakan bahwa Penunggun Karang merupakan stana Dewi Durga dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Durga Manik Maya, atau lebih dikenal sebagai Sang Hyang Cili Manik Maya. Serta sebagai stana Bhatara Kala yang disebut Sang Kala Raksa, yang memimpin Sang Raksa, Adi Raksa dan Rudra Raksa. Beliau berdua dipercaya sebagai penguasa seluruh kekuatan tak kasat mata di jagat Bali.

Menurut kajian Tatwa Kanda Empat Sari, Pelinggih Penunggun Karang ada 2 jenis, yaitu Penunggun Karang yang ada di pekarangan, dan penunggun Tegal atau ladang yang ada di kebun pertanian. Keduanya memiliki unsur tugas yang hampir sama, hanya berbeda wilayah kekuasaan saja. Jika ditelisik lebih jauh, Penunggun Karang dikatakan memiliki hubungan dengan Tepuk Kanda atau Kanda Pat, yaitu empat saudara spiritual dari setiap manusia Hindu Bali.

Pelinggih Penunggun Karang, idealnya terletak di posisi Kaja Kauh atau barat laut dalam pekarangan rumah, serta menghadap keselatan. Dalam lontar Kala Tatwa disebutkan bahwa Ida Bathara Kala, bermanifestasi dalam bentuk Sedahan Karang, dengan tugas sebagai Pecalang. Sama seperti perwujudan beliau di Sanggah Pamrajan atau Pura dengan sebutan Panglurah, Pengapit Lawang atau Patih. Karena fungsinya sebagai Pecalang inilah, sebaiknya Penunggun Karang berada dekat pintu gerbang rumah atau di pojok Barat Laut pekarangan rumah. Jika tidak memungkinkan, maka Penunggun Karang bisa didirikan di tempat lain, asal memenuhi aspek kesucian.

Dalam Lontar Asta Bhumi disebutkan bahwa pekarangan rumah biasanya dibagi menjadi sembilan bagian, yakni dari sisi kiri ke kanan menjadi nista, madya dan utama, serta dari sisi atas ke bawah menjadi nista, madya dan utama. Sehingga terdapat 9 bayangan kotak pembagian pekarangan rumah. Letak Penunggun Karang atau Sedahan Karang adalah pada posisi nistaning Utama.

Agar pelinggih Penunggun Karang dapat berfungsi sebagaimana mestinya, maka setelah pelinggih itu selesai dibangun, perlu di urip dengan melakukan upacara pamlaspas. Upacara Pamlaspas ini, dipuput oleh orang suci minimal seorang pinandita atau pemangku. Jika pelinggih Penunggun Karang diurip dengan benar, maka fungsi-Nya sebagai Pecalang sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman rumah tangga dan menolak bahaya sehingga terwujudlah rumah tangga yang harmonis, bahagia, aman tentram dan penuh kedamaian.

Pada beberapa daerah di Bali, piodalan pada pelinggih Penunggun Karang dilakukan saat hari tumpek. Hal ini berkaitan dengan kisah tentang lahirnya Dewa Kala yang merupakan cikal bakal dari Sedahan Karang, di mana Dewa Kala, dikatakan lahir saat hari Tumpek Wayang. Jadi, piodalan Sedahan Karang disarankan disesuaikan dengan hari kelahiran dari Dewa yang berstana, yaitu saat hari Tumpek. Namun demikian, pada beberapa daerah lain di Bali, piodalan pelinggih Penunggun Karang dilakukan saat hari Buda Kliwon wuku Ugu atau Buda Kliwon Ugu.

Persembahan yang di haturkan kepada Bhatara Penunggu Karang untuk pelaksanaan yadnya sehari-hari, adalah canang sari, banten Pawedangan atau banten kopi, ajengan atau jotan atau banten saiban. Selain itu, setelah pulang dari bepergian, kita bisa menghaturkan rarapan yang dapat berupa tape, jajanan bali, permen, snack-snack dan sebagainya. Sedangkan, pada hari raya tertentu, kita bisa menghaturkan banten sodaan atau banten pejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar